Sebagai salah satu organisasi Masyarakat Adat terbesar di dunia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memiliki sebuah perhelatan yang menjadi momentum bagi refleksi dan konsolidasi menuju gerakan Masyarakat Adat yang terpimpin, yaitu Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN).
KMAN diselenggarakan setiap lima tahun sekali dan menjadi proses pengambilan keputusan strategis tertinggi, di mana Masyarakat Adat akan melakukan musyawarah mufakat dalam merumuskan sikap dan pandangan Masyarakat Adat, mengonsolidasikan gerakan Masyarakat Adat, melakukan dialog secara konstruktif, serta merumuskan dan menetapkan mekanisme organisasi.
Sejarah KMAN dimulai pada 1993 ketika sejumlah pimpinan Masyarakat Adat melakukan konsolidasi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan bersama berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Wahana Lestari Persada (WALDA). Dari sana, lahir organisasi pendukung hak-hak Masyarakat Adat bernama Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari para aktivis lingkungan dan Masyarakat Adat. Dalam pertemuan JAPHAMA, muncul istilah “Masyarakat Adat” sebagai padanan dari terjemahan “Indigenous Peoples” sekaligus pengganti label-label yang seringkali dilekatkan kepada Masyarakat Adat, seperti masyarakat terpencil, suku terasing, masyarakat terbelakang, dan lain-lain.
JAPHAMA lantas mendorong dan mengorganisir terjadinya Kongres I Masyarakat Adat (KMAN I) pada 17-22 Maret 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta. KMAN I menjadi momentum pertama bagi kehadiran ratusan pemimpin Masyarakat Adat dari berbagai perwakilan komunitas Masyarakat Adat di seluruh Nusantara, termasuk 20 perwakilan perempuan adat yang berhasil hadir dari total 208 peserta. Selama sepekan, KMAN I dilangsungkan untuk membahas dan mencari solusi atas persoalan seputar Masyarakat Adat, termasuk pelanggaran hak asasi, perampasan wilayah adat, pelecehan budaya, dan kebijakan yang mendiskriminasi Masyarakat Adat.
Di hari pertama penyelenggaraan KMAN I pada 17 Maret 1999, AMAN dideklarasikan bersamaan dengan penetapan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN). KMAN merupakan perhelatan bagi keberlanjutan estafet obor perjuangan gerakan Masyarakat Adat di Indonesia.
Sebagai gerbong atas perjuangan gerakan Masyarakat Adat Nusantara, AMAN didirikan dengan tujuan terwujudnya Masyarakat Adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya. Setelah KMAN I, AMAN telah menyelenggarakan KMAN II di Desa Tanjung, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat pada 19-25 September 2003; KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat pada 17-20 Maret 2007; KMAN IV di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara pada 19-25 April 2012; dan KMAN V di Kampong Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumatera Utara pada 15-19 Maret 2017.
Saat ini, AMAN tengah menuju KMAN VI diiringi dengan perkembangan organisasi. AMAN kini beranggotakan 2.449 komunitas Masyarakat Adat dengan anggota individu mencapai 20 juta orang dari perkiraan total jumlah populasi Masyarakat Adat di Indonesia sebanyak 40-70 juta jiwa. AMAN melayani anggotanya melalui Pengurus Besar (PB) yang berkantor di Jakarta dan Bogor, 21 Pengurus Wilayah (PW), dan 113 Pengurus Daerah (PD). AMAN memiliki tiga organisasi sayap, yaitu Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN) AMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN); dua badan otonom, yaitu Koperasi Produsen AMAN Mandiri (KPAM) dan Yayasan Pendidikan Masyarakat Adat Nusantara (YPMAN); serta unit usaha Credit Union Pancoran Kehidupan (CU Randu).
Melalui musyawarah dalam Rapat Pengurus Besar (RPB) AMAN XXVIII, KMAN VI yang akan diselenggarakan di Komunitas Masyarakat Adat Tabi, Papua pada 24-30 Oktober 2022 memiliki tema “Bersatu Pulihkan Kedaulatan Masyarakat Adat untuk Menjaga Identitas Kebangsaan Indonesia yang Beragam dan Tangguh Menghadapi Krisis.”
Ketua Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) Abdon Nababan mengutarakan makna di balik tema tersebut. “Melihat ‘pemulihan’ itu yang pertama,” katanya dalam menegaskan kata kunci terkait dengan persoalan Masyarakat Adat. “Pemulihan itu bisa dari Masyarakat Adat atau pemerintah. Dan yang dipulihkan adalah kedaulatannya yang menjadi pengikat Masyarakat Adat. Kalau kita berdaulat, maka melekatlah hak-hak tersebut. Itu menjadi syarat ada bangsa Indonesia untuk merawat atau menjaga keberagaman dan tangguh menghadapi krisis apa pun.”